Jumat, 21 Januari 2011

puisi "menunda embun"


KARYA/PENULIS PUISI
NAMA<span> </span>: NOR HIDAYAT
NIM<span> </span>: 09003195
FAKULTAS<span> </span> : FKIP
PROGAM STUDI : Pend. Bahasa Sastra Indonesia
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN





           MENUNDA EMBUN

Tetesan Air Mata Membelah Bumi
Meluapkan Bongkahan APi Dalam Hati
Melelekan Cinta Suci Dalam  Janji Mati
Menutupi Jalan Hati Untuk Melihatmu Lagi

Oh... Malam Kapan Kau Milikku Lagi
Serpihan Hati Menusuk Jantung Dikala Sepi
Mengeringkan Air Mata Menunda Embun Pagi
Menghitamkan Langit Meratapi Nasib

Oh.. Matahari Sinari Hati Dengan Lembut Kasihmu
Menerobos Garis Cakrawala Cinta
Meretakkan Langit Mencari Kasih Sejati
Mengikat Tali Suci Mengukir Cinta Abadi

puisi "salah memilih"


KARYA/PENULIS PUISI
NAMA<span> </span>: NOR HIDAYAT
NIM<span> </span>: 09003195
FAKULTAS<span> </span> : FKIP
PROGAM STUDI : Pend. Bahasa Sastra Indonesia
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN




               SALAH MEMILIH

Bila Kau Dapat Melewati Bukit Cadas
Engkau Tentu Punya Keistimewaan Sendiri
Bilaku Tahu Dari Awal Yang Kau Plih Hanya Bukit Cadas
Aku Pun Memilih Bukit Sepertimu

Tapi Sudah Terlanjurku Memilih Gunung
Yang Terlampau Tinggi 
Yang Suit Dapatku Cari Jalan Keluar
Menuju Jalan Menuju kedamaian Hati

Keistimewaan Dirimu Dapat Memilih
Kemudahan Dapat Mengarungi
Kesalahan Pada Diriku
Ku Tanggung Sendiri Seumur Hidupku

puisi "kenangan cinta"


KARYA/PENULIS PUISI
NAMA<span> </span>: NOR HIDAYAT
NIM<span> </span>: 09003195
FAKULTAS<span> </span> : FKIP
PROGAM STUDI : Pend. Bahasa Sastra Indonesia
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN



          KENANGAN CINTA

Pancaran Hati Menusuk Hati
Meremukkan Mata Hati Ingin Segera Kembali
Menghentikan Helaan Nafas Disetiap Langkah
Menguapkankan Rindu Menjatuhkan Kenangan Cinta

Senyum Mentari Ditelan Awan Rindu
Mengetarkan Kalbu Merajut Kisah Kasih
Menyakinkan Hati Menyusuri Jalan Berduri
Berharap Selamanya Cinta Kan Dimiliki

puisi "ku pendamkan harapan"


KARYA/PENULIS PUISI
NAMA<span> </span>: NOR HIDAYAT
NIM<span> </span>: 09003195
FAKULTAS<span> </span> : FKIP
PROGAM STUDI : Pend. Bahasa Sastra Indonesia UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

                



 Ku Pendamkan Harapan

Biru kelam rasa kehidupan
Tercampur rata dalam duka
Sepi meneteskan jawaban mimpi kegelisahan
Ada dan tiada mimpi ku pendamkan harapan

Haruskah ku pecahkan cinta tak pertepi
Haruskah ku bunuh harapan tinggi dalam hati
Haruskah ku lari dari kenyataan pahit ini
Haruskah ku mengemis cinta yang telah pergi

Resah karena cinta
Sedih karena kecewa
Putih tak selamanya bahagia
Cukup sekali badai dalam perjalanan cinta

Puisi "mulutmu perangkai ranjau"

KARYA/PENULIS PUISI
NAMA : NOR HIDAYAT
NIM : 09003195
FAKULTAS : FKIP
PROGAM STUDI : Pend. Bahasa Sastra Indonesia
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN



Mulutmu Perangkai Ranjau


Mulutmu Perangkai Ranjau Yang selalu Aktif
Selalu Siap Meledakkan Hati Yang Menginjaknya
Terpendam Dalam Emosi Meleburkan Perasaan Hati
Terjebak Dengan Kata, Mati lari karena Perangkai Kata

Maaf Tiada Guna, Hati Membeku Rasa Membeku
Penyesalan Akan Menjadi Guru Yang Bijaksana
Menghentikan Denyut Cinta Mengurai Air Mata
Memaksa Kita Berfikir Sebelum Berkata

Kamis, 20 Januari 2011

Berita pameran Seni di Yogyakarta

“Kita harus segera ke gedung AMC sore ini!” Hidayat berbicara dengan nada tidak sabar. Paundra menanggapi dengan dingin, faham benar dengan sifat hidayat yang ingin semua tugas cepat selesai, di depan kontrakan rumah Paundra mereka merencanakan keberangkatan ke gedung pameran, Paundra dan Hidayat sudah lama bersahabat sejak mereka duduk dalam satu kelas disebuah perguruan tinggi Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan. Setelah berdiolog beberapa menit mereka akhirnya memutuskan sore itu juga berangkat ke pameran.
Dengan niat yang bulat, sore hari  menjelang petang. Hidayat dan satu temannya paundra berangkat dengan mengendarai sepeda motor bersama, melaju dengan pelan menuju tempat pameran seni kriya islami yang berada di gedung AMC atau (Asri Medical Center). “sudah siap dengan pertanyaan yang kita ajukan nanti” hidayat dengan nada tidak yakin dan minder. Sepeda montor terus melaju membelah kota Yogyakarta, suasana sepanjang perjalanan cukup cerah dan bersahabat sehingga mereka tiba lebih cepet di gedung pameran. Perjalanan ditempuh dalam waktu 15 menit. Tepat pukul 16:30wib hidayat sampai didepan gedung AMC.

Pintu kaca begitu dominan dari arsitektur gedung AMC. Hidayat menjadi lebih ceoat melangkahkan kakinya untuk masuk gedung pameran tersebut. “kita langsung naik kelantai dua saja” paundra sambil menunjuk keatas, lift terasa cukup aneh dan menakutkan bagi mereka, untuk pertama kalinya mereka menggunakan lift menaiki sebuah gedung. “ kita harus cepat mencari salah satu seni kriya yang nantinya kita akan minta informasi” hidayat dengan muka kebingungan karena banyaknya karya yang dipamerkan dalam dinding gedung.
“Maksudnya apa ini nama Allah digabungkan dengan gambar telapak kaki manusia” hidayat  sedikit bingung mengartikannya, “nah ini saja yang kita cari tahu apa maksunya dari karya ini” paundra dengan menepuk pundak hidayat sambil tersenyum dan mencari nama pembuatnya. Mereka kemudian mencari seniman pembuat karya itu dengan menanyakan kepada pihak panitia pameran. “selamat sore mas, bisa kami bertemu dengan pembuat karya yang berjudul Langkah Pencari-Mu, senimannya bernama Tri Wulandari” paundra menanyakan kepada pihak panitia yang sedang menjaga dilantai dua. “kebetulan sekali kalo Anda ingin bertemu orangnya sedang berada disini, Anda turun kelantai satu, ia berada di tempat penyambutan peserta” panitia dengan menunjukkan tangannya kepada sang pembuat karya yang dicari. Dengan langkah seribu mereka segera turun dari lantai dua menuju lantai satu, dalam kesempatan tersebut hidayat yang sudah siap dengan alat rekam dan berbagai pertanyaan segera menghampiri sang seniman Tri Wulandari.
“Selamat sore mbak? Maaf menganggu waktunya” hidayat dengan muka malu memberanikan bersalaman, seperti gayung bersambut Twi wulandari menyambut jabat tangan dari hidayat. “ bias saya bantu mas” jawab Tri wulandari sambil melontarkan senyumannya. Mereka duduk berhadapan dan dibatasi dengan meja berwarna coklat, diatas meja terdapat buku tamu berwarna merah. Tak lama kemudian mereka saling berbicara “dalam kesempatan ini, saya ingin mewawancarai mbak tri kapasitasnya sebagai seniman yang membuat karya berjudul  Langkah Pencari-Mu, dalma hal ini saya ingin mengetahui banyak hal tetang karya Anda” hidayat menyampaikan maksunya sambil menhidupkan alat perekam suaranya. “Silahkan, kalo saya bisa menjawab, saya akan jawab” Tri wulandari menjawab dari pernyataan yang disampaikan oleh hidayat.
Pertanyaan pertama pun dimulai tepat pukul 17:00 wib, suasana sudah sangat sore langit sudah terlihat semakin gelap, Hidayat, Mahasiswa yang berasal dari Universitas Ahmad Dahlan itu memulai dengan pertanyaan pertama “Apa Alasan Anda membuat karya kriya yang berjudul “Langkah Pencari-Mu”?. “Latar belakangnya saya kira cukup menarik  karena mempunyai maksud atau arti, sebuah proses sesorang mencari keberadaan Tuhan-Nya. Karena dalam konsepnya seseorang tidak akan mungkin hidup tanpa Tuhan” Tri Wulandari menjawab dengan muka yang serius.
Suasana percakapan mereka dibuka dengan ketengan dan saling janggung, kemudian pertanyaan kedua diajukan oleh Hidayat “Apa filosofis yang mendasari karya kriya Anda?”. “Sebenarnya banyak yang mendasari, lebih cenderung suka dengan gaya Seniman yang karyanya bersifat abstrak dan saya juga mengidolakan seniman dari Yogyakarta sendiri beliau adalah Efendi yang dikenal dengan karyanya “ayam jago” dengan gaya yang masih abstrak. Tri wulandari menjawab dengan mata berputar-putar seakan bingung akan menjawab apa lagi. Pertanyaan ketiga langsung diajukan “Apa bentuk/tipe karya kriya Anda, abstrak atau bersifat mudah dipahami masyarakat awam?”. “Lebih jenderung kombinasi (gabungan), menurut saya setiap karya kriya pasti islami,  karya yang dibuat akan mengandung maksud atau makna tersendiri. Semua karya mengandung karya islami. Karya islam tidak harus kaligrafi, musik islami, nilai islami adalah nilai-nilai yang terkandung didalamnya mengandung manfaat, dan pesan baik” jawaban Tri wulandari ketika menjawab pertanyaan dari hidayat. Pertanyaan keempat ditanyaakan oleh hidayat sambil mendekatkan alat perekam suaranya ke Tri wulandari “Apa ada tingkat kesulitan dalam pembuatan karya kriya Anda yang berjudul “Langkah Pencari-Mu?” “Saya kira Tidak ada kesulitan dalam proses pembuatannya, membuat karya dengan menikmati, mungkin dalam aplikasinya dengan mengkombinasikan teknik batik tulis itu yang cukup teliti” jawab seorang seniman ISI sambil tersenyum.
Suasana percakapan Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, Hidayat dengan Seniman ISI Tri wulandari sedikit mencair tidak tegang seperti pada petanyaan pertama. Tak lama berselang perntanyaan berikutnya pun dilanjutkan oleh hidayat “Apa  makna atau pesan dalam karya kriya Anda “langkah pencari-Mu?”. “sebuah penggambaran sesorang yang mencari keberadaan Tuhan-Nya. Karena seseorang tidak akan mungkin hidup tanpa Tuhan. Itu sebagai maksud bahwa seseorang harus bisa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan” Tri wulandari menjawab. Pertanyaan terus digali oleh hidayat “Berapa Lama proses pembuatan karya Anda “langkah pencari-Mu?”. “Waktu untuk membuat karya ini sekitar dua hari sudah selesai, mungin karena dateline untuk mengejar waktu pameran mungin bisa dibilang dipercepat, hasilnya bisa di nilai seperti apa. Tri wulandari menjawab dengan lantang. Selang beberapa detik Hidayat kembali meneruskan petanyaan yang sudah disusunnya “Apa Bahan baku yang diperlukan dalam karya Anda “langkah pencari-Mu?” “Kain prisma berwarna dasar putih, paraffin (sejenis malam), Menggunakan kuas, chanting. Batang dua untuk membentangkan kain, dibentangkan, pewarna cat merah, tungku untuk merebus bahan, cat warna hitam dan alat untuk menjahit” jawab tri sambil menerangkan dengan tulisan diatas meja.
Seakan ingin mengetahui lebih banyak informasi, hidayat kembali bertanya kepada Tri Wulandari “Bagaimana kiat untuk bisa menarik pecinta karya kriya?”. “Untuk menarik perhatian yang diperlukan hanyalah kekreatifan dari sang pembuat karya tersebut. Hidayat bertanya lagi “Bagaimana Proses pembuatan karya kriya Anda “langkah pencari-Mu”? “Tahap pertama adalah menyediakan kain prisma warna dasar putih, kemudian di potong 250 cm x 50 cm lalu digambar. Kemudian diberi paraffin ( sejenis malam untuk mencapai teknis pecah-pecah) dibagian telapak kaki kemudian diwarnai merah. Proses selanjutnya diwarnai dengan warna merah, dengan bentuk corak titik-titik memakai kuas, kain dibentangkan masuk pewarnaan merah, kemudian dibatik warna merah, proses ini tidak selalu menggunakan alat canting. Di tambahkan warna hitam. Ini dalah proses terakhir. Proses batik pembatikan selesai kemudian bahan direbus (proses plorotan malam) tinggal warna merahnya, kemudian dibakar untuk melubangui kain, langkah terakhir finising  menjahit bagian atas dan bawah dengan tongkat untuk tepi atas dan bawah, selesai. Tri wulandari menjawab pertanyaan sambil menerangkan dengan foto gambar karyanya yang sudah dijadikan buku. “Adakah manfaat yang terkandung dalam karya Anda “langkah pencari-Mu?” hidayat bertanya. “Pencerahan isi hati untuk semua orang, ungkapan hati, mengingatkan untuk mengingat Allah dengan bentuk gambar 7 telapak kaki dan lafal subahanallah” Tri wulandari menjawab dengan tak membutuhkan penafsiran orang lain. Banyak hal yang masih perlu ditanyakan, tetapi dalam pertanyaan yang satu ini hidayat merasa sedikit camggung “Dari sekian banyak karya yang sudah tercipta, bagaimana menghindari kesamaan karya kriya?” dengan raut muka penasaran “Memang sekian banyak pengkarya, sudah banyak pula karya, tetapi semua karya itu tentu beda dengan yang lainnya bisa disimpulakna setiap sen€iman mempunyai kekreatifan sendiri yang berbeda dengan yang lainnya, setiaop seniman mempunyai karakteristik sendiri” Tri wulandari menjawab dengan lantang.
Dalm petanyaan-pertanyaan terakhirnya HMahasiswa dari UAD itu, Hidayat memberikan petanyaan lanjutan “Dalam menentukan tema karya kriya Anda, darimana inspirasinya?”
“pikiran itu muncul dengan sendirinya, dalam penciptaan karya kriya seorang seniman ada yang berpikir dahulu baru memgaplikasikan, tetapi saya lebih cenderung spontanitas ide muncul langsung dari pikiran” jawab Tri Wulandari. Suasana gedung pameran sudah semakin sepi, karena satu jam akan tutup, Hidayat pun mempercepat pertanyaannya “Apa ada kebebasan dalam penciptaan karya kriya dalam perkembangannya?”. “Melihat karya-karya sekarang sudah berfariasi, dari sejarahnya masih ada yang tradisional, ada pengesahannya, tetapi sekarang lebih bebas tidak terikat, dikatakan lebih moderen juga tidak (sudah ada kombinasi bahan)” Tri Wulandari menjawab dengan melihat jam tangannya. Kemudian untuk menutup wawancaranya, Hidayat menanyakan pertanyaan terakhirnya “Bagaimana jika ada yang mengartikan lain karya kriya Anda pelecehan karena Anda menggunakan lafalz Allah dengan gambar telapak kaki yang digabungkan?” hidayat bertanya sambil mengemas kertasnya yang ada diatas meja.  “Menurut saya karya ini sangat menarik kaki dengan Nama Tuhan dikombinasikan dalam karya kriya ini. Penafsiran karya tergantung denga orangnya sendiri akan mengartikan apa,  Si A Si B
berpendapat apapun itu hak mereka, bebas”
Setelah kurang lebih empat belas pertanyaan dilayangkan oleh Hidayat kepada sang Seniman, malam pun sudah dating, lampu-lampu bangunan dan jalan sudah menyala, dan mereka berterima kasih kepada Tri wulandari yang berkenan untuk diwawancarai dan bersedia menjawab pertanyaan. Hidayat dan paundra tepat pukul 18:30 wib meninggalkan gedung AMC dengan kepuasan karena sudah mendapat informasi dan ilmu tentang karya seni kriya Islami.
(Nor Hidayat)

Berita dialog Cak Nun di UAD

16 Januari 2011 | 10:00 WIB
Dialog kebudayaan bersama Emha Ainun Nadjib di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Add caption

Universitas Ahmad Dahlan dan  LBBO PP Muhammadiyah menyelenggarakan acara dialog interaktif dalam rangka festival Muharram ke-VI yang mengangkat topik “Benarkah ada Bid’ah dalam kebudayaan?” acara yang digelar bertujuan untuk membedah masalah-masalah aqidah yang ada di masyarakat sekarang ini, terutama masalah Bid’ah menjadi topik yang paling utama, bertempat di ruang Auditorium lantai empat Universitas Ahmad Dahlan, Minggu (16/01/11) .



Acara yang dimulai pukul 10:00 WIB dan selesai pukul 11:40 WIB itu menghadirkan pembicara Emha Ainun Nadjib. Pada kesempatan tersebut Emha atau yang sering disebut Cak Nun mengemukakan bahwa bid’ah adalah semacam mata koin (mata uang yang selalu bersama). Hal ini merupakakan dinamika yang ada di dalam bid’ah, yang harus menjadi perhatian kita, bid’ah bisa menjadi wajid dan bisa juga menjadi sunnah, tetapi Aqidah islam (tauhid) sebagai ujung tombak dalm hal itu.

Dalam kesempatan tersebut Cak Nun juga menyampaikan macam-macam Bid’ah, “ ada dua pembagian, Bid’ah hasanah dan Bidah dolalah. Tak hanya itu Cak Nun juga menjelaskan Ijdihad. Dalam kehidupan manusia Ijdihad perhubungan langsung dengan kebudayaan. Di dalamnya pun mengandung Sunatullah dan hal itu tidak masalah untuk dilaksanakan. Seperti dijelaskan pada contoh  benda-benda disekitar kita, ada jam tangan, furniture yang terbuat dari kayu, kapas yang diubah menjadi kain, kain diubah menjadi baju bagus (proses keratif yang positif) tetapi juga Idjtihad beresiko. Rosullah pada zaman dahulu pun tidak menggunakan barang-barang yang ada pada saat saat ini. Jadi sebuah pikiran harus mengandung nilai positif dan dibarengi dengan segi manfaatnya. Ibadah pun juga, sewaktu Rosullah menunaikan haji dengan onta berarti disebut bi’dah hasanah (karena pelaksanaannya menggunakan kendaraan onta) sedangkan para jama’ah haji sekarang sudah memakai pesawat terbang untuk berhaji. Ibadah mu’amalah cenderung tidak mempunyai potensi keharaman selagi tidak melanggar syariat islam.

Sesi dialog pun tidak disia-siakan oleh para perserta yang hadir pada saat itu, diantaranya  Muhammad Aqim yang menanyakan perihal lukisan yang menjadi perdebatan diantara masyarakat yang menganggapnya sebagai bid’ah, Emha pun menjawab “hal yang seperti itu tidak perlu dijadikan perdebatan, lebih baik dikalangan masyarakan, ulama’ dan para tokoh agama, rumah sejati adalah rumah dalam hati kita sendiri, sah-sah saja toh malaikat datang pada rumah kalbu hati, jadi jangan mengartikan rumah secara sempit, baik itu NU atau pun Muhammadiyah harus mencari hal-hal yang berkaitan dengan itu, Al-Qur’an, Hadist dan Fiqih yang mengenai lukisan, Majlis tarjih kurang bekejaran dengan masalah-masalah yang muncul pada masyarakat Muhammadiyah dalam hal ini sifatnya lebih interatif kepada tuntunan ke umatnya, Dewan  Tarjih (Muhamadiyah) dan Masail (NU) sebaiknyalah menggabungkan, mengeluarkan fatwa bersama dengan berunding bersama dan  memerdekakan pikiran tapi tetap dalam lingkup syariata? ujar Cak Nun ketika menjawab pertanyaan dari salah satu peserta dialog.

Dalam kesempatan itu pula Cak Nun juga menggaris bawahi bahwa sungguhnya yang mempunyai kapasitas menjawab dari pertanyaan peserta bukanlah Cak Nun. Cak Nun atau sering disebut Enha merasa tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menjawab. Cak Nun berharap pada suatu saat nanti dewan Tarjih dan Bas’ul (NU dan Muhammadiyah), MUI bisa duduk bersama dalam mengeluarkan keputusan,karena semua perlu belajar, mengambil data yang ada baik Al-Qur’an dan Hadist, sehingga data yang dikaji cukup matang. dalam kehidupan pun akan tercipta ketentraman ataupun tidak ada kebingungan diantara masyarakat, terlepas dari Nu atau Muhammadiyah.

Diakhir acara Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun berharap Semoga dialog yang diselenggarakan di UAD Minggu sore bisa aplikasi baik itu NU atau pun Muhammadiyah, dan semua tokoh masyarakat dapat menemukan sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis yang pasti sebagai acuan dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan yang laiannya, “Dari pada membahas musik haram atau tidak, benar atau salah, lebih baik membahas hal yang lebih penting lainnya, mengumpulkan hadis, untuk menentukan hokum dan sebagainya” ujarnya ketika menutup acara.
(Nor hidayat)

Berita Ngadinah, di pojok kota Yogya

Ngadinah, di Pojok Kota Yogya
Siang yang terik, dari kejauhan tampak sebuah tenda merah berdiri di pojok kota jogja tepatnya jalan Veteran Warungboto seorang perempuan paruh baya berusia 55 tahun yang bernama Ngadinah duduk menatap penuh harap pada barang dagangan, berharap laku hari ini. Di dekat tempat pengumpulan barang-barang bekas milik seorang tengkulak, ia berjualan angkringan. Hampir 2,5 tahun ia berjualan, itupun atas kebaikan hati tengkulak tersebut yang dengan suka rela memperbolehkannya berjualan di tempat tersebut. dari tempat tinggalnya di Bantul Ngadinah mengayuh sepeda tua yang didapatnya dari bos tengkulak barang bekas untuk pergi ke tempat ia berjualan . dari sosoknya yang sudah beruban dan garis mukanya yang mulai menua, ia berjuang  untuk menghidupi keluarga. Semenjak status janda yang ia sandang selama 12 tahun, kehidupan keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Diusia yang seharusnya ia gunakan untuk istirahat dan menikmati sisa hidup, tetapi ia masih tetap bekerja untuk membiayai hidupnya dan ketiga anaknya, anak yang paling bungsu masih sekolah SMP dan yang lain bekerja bangunan. Sebenarnya Ngadinah memilili 8 orang anak tetapi anaknya banyak yang merantau di kota untuk mencari penghasilan masing-masing.
            Dari penghasilan jualan angkringan setiap harinya Ngadinah hanya memperoleh laba Rp: 10.000,- meski kadang-kadang lebih dan kadang juga kurang. Setelah suaminya meninggal Ngadinah dan keluarga mengalami hidup yang sulit, serba pas-pasan dan kekurangan. Meski begitu Ngadinah dan anak-anaknya tidak putus asa untuk berahan hidup. Dari hasil berjualannya dengan dibantu oleh kedua anak laki-lakinya yang bekerja di bangunan, Ngadinah dapat menyekolahkan anak bungsunya di sekolah menengah. Dalam hidupnya yang sulit Ngadinah tetap tegar, bersyukur, dan tidak mengeluh dalam menjalani hidup. Besar harapannya Si bungsu dapat mengubah hidupnya untuk jadi lebih baik.