Kamis, 20 Januari 2011

Berita dialog Cak Nun di UAD

16 Januari 2011 | 10:00 WIB
Dialog kebudayaan bersama Emha Ainun Nadjib di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Add caption

Universitas Ahmad Dahlan dan  LBBO PP Muhammadiyah menyelenggarakan acara dialog interaktif dalam rangka festival Muharram ke-VI yang mengangkat topik “Benarkah ada Bid’ah dalam kebudayaan?” acara yang digelar bertujuan untuk membedah masalah-masalah aqidah yang ada di masyarakat sekarang ini, terutama masalah Bid’ah menjadi topik yang paling utama, bertempat di ruang Auditorium lantai empat Universitas Ahmad Dahlan, Minggu (16/01/11) .



Acara yang dimulai pukul 10:00 WIB dan selesai pukul 11:40 WIB itu menghadirkan pembicara Emha Ainun Nadjib. Pada kesempatan tersebut Emha atau yang sering disebut Cak Nun mengemukakan bahwa bid’ah adalah semacam mata koin (mata uang yang selalu bersama). Hal ini merupakakan dinamika yang ada di dalam bid’ah, yang harus menjadi perhatian kita, bid’ah bisa menjadi wajid dan bisa juga menjadi sunnah, tetapi Aqidah islam (tauhid) sebagai ujung tombak dalm hal itu.

Dalam kesempatan tersebut Cak Nun juga menyampaikan macam-macam Bid’ah, “ ada dua pembagian, Bid’ah hasanah dan Bidah dolalah. Tak hanya itu Cak Nun juga menjelaskan Ijdihad. Dalam kehidupan manusia Ijdihad perhubungan langsung dengan kebudayaan. Di dalamnya pun mengandung Sunatullah dan hal itu tidak masalah untuk dilaksanakan. Seperti dijelaskan pada contoh  benda-benda disekitar kita, ada jam tangan, furniture yang terbuat dari kayu, kapas yang diubah menjadi kain, kain diubah menjadi baju bagus (proses keratif yang positif) tetapi juga Idjtihad beresiko. Rosullah pada zaman dahulu pun tidak menggunakan barang-barang yang ada pada saat saat ini. Jadi sebuah pikiran harus mengandung nilai positif dan dibarengi dengan segi manfaatnya. Ibadah pun juga, sewaktu Rosullah menunaikan haji dengan onta berarti disebut bi’dah hasanah (karena pelaksanaannya menggunakan kendaraan onta) sedangkan para jama’ah haji sekarang sudah memakai pesawat terbang untuk berhaji. Ibadah mu’amalah cenderung tidak mempunyai potensi keharaman selagi tidak melanggar syariat islam.

Sesi dialog pun tidak disia-siakan oleh para perserta yang hadir pada saat itu, diantaranya  Muhammad Aqim yang menanyakan perihal lukisan yang menjadi perdebatan diantara masyarakat yang menganggapnya sebagai bid’ah, Emha pun menjawab “hal yang seperti itu tidak perlu dijadikan perdebatan, lebih baik dikalangan masyarakan, ulama’ dan para tokoh agama, rumah sejati adalah rumah dalam hati kita sendiri, sah-sah saja toh malaikat datang pada rumah kalbu hati, jadi jangan mengartikan rumah secara sempit, baik itu NU atau pun Muhammadiyah harus mencari hal-hal yang berkaitan dengan itu, Al-Qur’an, Hadist dan Fiqih yang mengenai lukisan, Majlis tarjih kurang bekejaran dengan masalah-masalah yang muncul pada masyarakat Muhammadiyah dalam hal ini sifatnya lebih interatif kepada tuntunan ke umatnya, Dewan  Tarjih (Muhamadiyah) dan Masail (NU) sebaiknyalah menggabungkan, mengeluarkan fatwa bersama dengan berunding bersama dan  memerdekakan pikiran tapi tetap dalam lingkup syariata? ujar Cak Nun ketika menjawab pertanyaan dari salah satu peserta dialog.

Dalam kesempatan itu pula Cak Nun juga menggaris bawahi bahwa sungguhnya yang mempunyai kapasitas menjawab dari pertanyaan peserta bukanlah Cak Nun. Cak Nun atau sering disebut Enha merasa tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menjawab. Cak Nun berharap pada suatu saat nanti dewan Tarjih dan Bas’ul (NU dan Muhammadiyah), MUI bisa duduk bersama dalam mengeluarkan keputusan,karena semua perlu belajar, mengambil data yang ada baik Al-Qur’an dan Hadist, sehingga data yang dikaji cukup matang. dalam kehidupan pun akan tercipta ketentraman ataupun tidak ada kebingungan diantara masyarakat, terlepas dari Nu atau Muhammadiyah.

Diakhir acara Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun berharap Semoga dialog yang diselenggarakan di UAD Minggu sore bisa aplikasi baik itu NU atau pun Muhammadiyah, dan semua tokoh masyarakat dapat menemukan sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis yang pasti sebagai acuan dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan yang laiannya, “Dari pada membahas musik haram atau tidak, benar atau salah, lebih baik membahas hal yang lebih penting lainnya, mengumpulkan hadis, untuk menentukan hokum dan sebagainya” ujarnya ketika menutup acara.
(Nor hidayat)

1 komentar:

  1. boooooooooooook awak ngantok tek kon membaca kuk rak ancen babar blas

    huakakakakakakakakakaka

    BalasHapus